Ciiuuuussss ??? Miaapaaaahhhhhhhhhhhh ?????

Ciiuuuussss ??? Miaapaaaahhhhhhhhhhhh ?????
Tak muda, tak tua, semua
keranjingan bahasa alay.
Tak lagi mengenal batasan
usia. Ciyusan? Miapah?


"Ciyus? Miapah? Macacih?” Kata-kata itu kini kerap terdengar di mana-mana. Enggak di kantor, di kantin, di kampus, juga di sekolah-sekolah. Pemakai kata-kata alay itu juga sudah tak lagi mengenal usia. Ada bapak-bapak yang sudah kumisan, atau ibu-ibu arisan. Ada juga bocah SD. Bahasa alay memang sudah menguasai dunia.

Dulu, mungkin banyak orang yang risih dengan kata-kata semacam itu. Namun saking seringnya dipakai, jadi terbiasa. Bahkan, si pembenci itu akhirnya juga ikut-ikutan menggunakan kata-kata alay itu.
Heni misalnya. Ibu beranak satu itu awalnya benci saat keponakan-keponakannya yang masih SMA saling bersahutan menggunakan bahasa-bahasa ‘aneh’ di BBM Group.

“Saya tuh sampai gedek-gedek sendiri, kok bisa ya mereka mengerti dan saling paham bahasa kayak gitu?” katanya sambil mengernyit. Dia pun sempat protes karena merasa terganggu.
Namun lama-lama, Heni merasa kata-kata itu lucu juga. Apalagi kini kata-katanya makin beragam. Dia mulai ikut-ikutan menggunakan kata-kata seperti enelan (benaran) dan macacih (masa sih).

Angka, Singkatan, Hingga Cadel
Bahasa alay pertama kali beredar lewat short message service alias SMS. Awalnya, banyak remaja, pelajar SMP dan SMA sering menyingkat katakata dan menggantinya dengan angka. Tadinya hal itu untuk menghemat jumlah SMS agar lebih murah. “Kalau enggak disingkat bisa dua atau tiga SMS, kalau disingkat kan jadi satu SMS saja, lebih murah,” kata Devi, salah satu ‘alayer’.

Devi merasa tidak ada masalah dengan penggunaan singkatan dan angka itu. Teman-temannya juga paham apa yang ditulisnya. Bahkan, semua temannya juga menulis SMS seperti Devi.
Namun ternyata tidak semua orang mengerti pesan dengan singkatan tak lazim dan angka-angka seperti itu. Sejumlah orang merasa muak jika mendapat SMS semacam itu.

“Ini tulisan apa sih kok ada huruf besar kecil, angka? Duh, saya pusing membacanya. Saya sampai minta orang itu mengirim ulang dengan bahasa yang biasa,” kata Nita, salah satu karyawan swasta.
Lalu kini muncul lagi bahasa alay yang baru dan populer. Kali ini, si pemakai seolah-olah cadel seperti anak kecil. Konon, kata-kata ini pertama kali dipopulerkan di Twitter.

Pengamat media sosial, Nukman Luthfie mengatakan, kata-kata seperti miapah dan ciyus berawal dari sejumlah orang yang mengobrol di Twitter dengan gaya pura-pura cadel.

‘Miapah’ pertama kali digunakan oleh akun Twitter @popokman. Mungkin karena lucu, kata-kata itu kemudian ditirukan oleh followers-nya.
“Jadi faktor lucu itu biasanya yang membuat sesuatu di Twitter kemudian populer. Tapi enggak ada rumusnya sih yang bisa ngetop di Twitter itu yang bagaimana,” kata Nukman.

Sebenarnya, sebelum miapah dan teman-temannya, sudah banyak juga yang mencoba membuat tren. Namun ada yang gagal, ada juga yang berhasil.
Dia menyebut, tren semacam ini juga tidak bisa diprediksi berapa lama akan bertahan. Hal itu tergantung bagaimana perkembangan tren di dunia maya itu sendiri. “Jadi Twitter itu memang memberi ruang untuk berekspresi dan tren katakatanya selalu berkembang serta berubah-ubah,” kata Nukman.

Bahasa Gaul
Gaya bahasa semacam ini sebenarnya sudah muncul sejak zaman dahulu kala. Istilahnya bahasa prokem atau gaul. Tiap zaman, bentuk gaulnya memang berbedabeda.

Pada zaman “Catatan Si Boy”, istilah yang paling populer adalah si ‘doi’ untuk menunjuk pacar. Atau bahasa gaul yang diciptakan oleh Debby Sahertian. Peneliti Balai Bahasa, Dendy Sugono menyebut,
bahasa seperti miapah dan ciyus itu termasuk dalam kategori bahasa slang. Bahasa ini memang biasanya menyimpang dari kaidah atau norma umum. Sebenarnya tidak ada yang salah dari bahasa-bahasa itu, selama penggunaannya hanya untuk komunikasi informal atau bahasa sehari-hari. “Itu tidak mengganggu selama tidak digunakan untuk diskusi di kelas atau diskusi ilmiah,” katanya.

Menurut Dendy, bahasa slang sebenarnya merupakan salah satu bentuk kreativitas anak muda. Sebaiknya, hal semacam ini tidak dilarang-larang. Bahasa slang biasanya juga tidak bertahan lama. Dia menganalogikan bahasa slang sebenarnya mirip dengan mode yang akan terus berganti dan berulang. “Jadi itu persis kayak mode. Muncul, hilang, ganti baru, lalu suatu saat akan muncul lagi. Jadi begitu terus, seperti roda saja,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa ini.

Sumber: Majalah Detik

0 komentar:

Posting Komentar

Followers