Memoar Part I

SI JABANG BAYI
Garut, 17 Syawal hari Sabtu, 12 Mei 1990 telah berlangsung akad nikah antara seorang pejantan tangguh yang bernama Adang Subagja bin Encin dengan seorang gadis perempuan bernama Yanti bin Enda. Ketika itu yang menjadi wali nikahnya adalah Ayah dari Ibu. Dengan mas kawin yaitu seperangkat alat shalat dan uang Rp. 5000 dibayar tunai.
Gadis desa yang berasal dari kota dodol yaitu Garut itu mempunyai perawakan tinggi semampai dengan rambut ikal panjang bak seorang kembang desa di sebuah kampung. Ya itulah sosok Ibuku ketika masih muda, sangat serasi dengan Ayah yang mempunyai perawakan seperti sang panglima pencari cinta yang gagah dan berani menyatakan cintanya kepada Ibu dengan mengucap janji setia sehidup semati.


          Pernikahan kedua orangtuaku yang terbilang sangat sederhana namun syarat akan makna. Ketika itu Ibu berusia 18 tahun dan Ayah berusia 22 tahun. Menikah di usia yang muda, tapi menyisakan cerita yang benar-benar ironis tapi manis tanpa adanya teoritis ataupun tragedi yang tragis. Pernikahan itu telah diracik dengan tali-tali kasih serta rajutan kisah cinta Ibu bersama Ayah. Walaupun usia Ibu dan Ayah masih terbilang sangat muda untuk menjalin sebuah biduk rumah tangga, tetapi dengan terucapnya sebuah janji suci sehidup semati sudah menjadi bukti jika mereka siap untuk hidup bersama selamanya. Diantara hembusan angin malam, kebersamaan itu telah mendongkrak semua sepi yang selalu menggoda di hati.
Mereka melangsungkan hanimun di kampung halaman Ibu, dengan suasana pedesaan yang masih terasa sangat asli dan tak akan pernah terganti dengan suasana perkotaan yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan dan julangan beton-beton pencakar langit. Gunung yang menjulang tinggi, percikan air yang terjun langsung dari ketinggian tebing, serta bunga kopi yang wanginya selalu membius sampai ke tulang-tulang hidung. Tempat yang begitu indah dan memanjakan setiap mata yang melihat alam ciptaan Tuhan itu.
Menjelajahi waktu dengan secara seksama, memanfaatkan waktu dengan secermat mungkin demi terbinanya sutau keluarga yang harmonis. Setelah Ibu menikah dengan Ayah, Ibu tidak berniat untuk langsung mempunyai seorang anak. Maklum Ibu dan Ayah adalah seorang pekerja karyawan swasta yang berada di bawah naungan pabrik tekstil di daerah Banjaran. Mereka terlalu sibuk dengan hiruk pikuk suasana pekerjaan yang selalu terngiang-ngiang dikepala sehingga membuat kepala mereka merunduk ke bawah. Disanalah pula awal cerita mereka bertemu, dan akhirnya merjaut tali kisah kasih dan naik banding ke tingkat yang paling tinggi yaitu menikah.
 Dari terbitnya sang fajar sampai terbenamnya matahari, mereka bekerja banting tulang. Kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki, tidak lain dan tidak bukan mereka hanya ingin membangun sebuah gubuk untuk keluarga kecil mereka nanti. Sebelum mereka mempunyai rumah sendiri, mereka belum berniat untuk mempunyai seorang anak. Itulah prinsip yang mereka pegang teguh setelah menikah dan hidup bersama.
 Satu tahun sudah pernikahan mereka berlalu, uang yang sudah terkumpul agak sedikit, setidaknya cukup untuk membeli beberapa kayu serta genting-genting rumah. Dengan target 2 tahun kedepan 100% rumah impian akan terealisasikan dengan sempurna tanpa adanya unsur huru hara.


Tahun kedua, kendela dalam berumah tangga mulai membabi buta. Seperti sayur tanpa garam, jika dalam menjalani sebuah perjalanan hidup bersama ada kalanya batuan-batuan kerikil dengan setianya menanti di depan mata. Ayah kecelakaan. Ketika Ayah sedang bekerja, tiba-tiba sebuah papan yang sudah lapuk jatuh menimpa kepala Ayah. Tanpa pikir yang panjang dan berbelit-belit, uang yang selama itu sudah terkumpul dipakai untuk biaya berobat Ayah. Mau tidak mau, terpaksa atau secara paksaan akhirnya kepala Ayah diperban seperti mumy Mesir. Sedangkan Ibu bak Ratu Mesir yaitu Ratu Kleopatra yang selalu merawat dan memanjakan Ayah ketika Ayah sedang sakit.
Menanti-nanti lonceng berbunyi untuk memulai membangun sebuah rumah impian. Setelah 3 tahun lamanya, dengan keringat dingin yang selalu mengucur deras seperti air terjun mengalir di seluruh badan, mulai dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Mungkin suasana ketika itu sangat membanggakan, hujan bunga sekaligus hujan air mata. Mereka tunjukan pada dunia, jika setitik tanah dari miliyaran bahkan triliyunan titik tanah di muka bumi ini sudah sah dan menjadi hak milik mereka sebagai mahluk yang mengisi bumi. Lalu setitik tanah itu, mereka jadikan sebuah rumah, rumah khas adat Sunda yang terbuat dari papan untuk tapakan kaki, bilik bambu untuk dindingnya, serta kayu jati sebagai tulang-tulang rumah dan genting tua warna coklat untuk atap rumah.
Pasangan suami istri yang harmonis itu telah mempunyai sebuah gubuk yang sangat sederhana. Dengan rumah yang hampir berdekatan dengan rumah Nenek, serta pohon Mangga yang tumbuh lebat disamping rumahnya. Letak geografis rumah itu terletak di antara rumah Nenek dan rumah tua yang besar kosong tak berpenghuni seperti bangunan tua khas Belanda. Sebelah Barat tedapat rumah warga sekaligus rumah Nenek, sebelah Utara belakang rumah yang berjajaran langsung dengan rumah-rumah warga yang lainnya, sebelah Timur berbatasan dengan rumah tua yag kosong, dan sebelah Selatan berhadapan langsung dengan hamparan sawah yang hijau dan panorama gunung-gunung yang meliuk-liuk seperti frekuensi gelombang yang harmonis.

Setiap waktu yang kosong, dikala mereka libur dengan keramaian mesin dan istirahat sejenak dengan hiruk pikuk suasana sebagai status pekerja pabrik, Ibu dan Ayah selalu menyempatkan diri untuk bersantai bersama. Duduk di depan rumah sambil memandang panorama alam yang terlihat jelas di depan rumah. Sambil tertawa, becanda riang mereka bercerita tentang alur-alur kehidupan mereka. Duduk mesra saling berpandangan mata, semakin menghangatkan suasana pagi yang sangat cerah di saat itu. Suara burung dan sejuknya angin pagi seakan menjadi harmonisasi musik yang merdu. Setidaknya hari libur itu bisa mempererat dan mengikat emosi mereka dalam membina sebuah kehidupan berumah tangga. Serta  semakin terasa juga rasa akan kebersamaan dan rasa akan kekeluargan yang penuh kebahagiaan dan keharmonisan.
Keluarga kecil yang bahagia, namun kebahagian itu kurang lengkap tanpa kehadiran seorang bayi yang lucu dan menggemaskan. Apalagi tujuan orang yang sudah menikah ialah mempunyai seorang anak. Rumah akan terasa sepi jika dihuni oleh dua mahluk saja. Tangisan seorang bayi, gelak tawa seorang bayi, itulah yang bisa menyempurnakan kebahagiaan mereka. Akhirnya Ibu dan Ayah dengan rela hati dan berserah diri kepada illahi merampungkan niatnya untuk mempunyai seorang anak. Tidak menunggu waktu lagi, diantara hembusan angin malam, kebersamaan itu telah mendongkrak semua serahan diri kepada illahi, dengan rela hati mereka mengorbankan waktu untuk mencurahkan semua kepuasan duniawi.

Tak perlu menunggu waktu yang sangat lama, setelah 3 bulan menempati gubuk yang sederhana itu, Ibu mengalami ketidak normalan dalam tubuhnya. Sudah 2 bulan Ibu telat datang bulan. Sebelumnya Ibu hanya menduga jika itu hal biasa, mungkin hanya sakit biasa yang bisa hilang tanpa perlu pengobatan medis. Kemudian Ibu segera memeriksakan diri ke Dokter bersama Ayah. Hal yang mengejutkan ketika Dokter berbicara kepada Ayah, “Selamat anda akan menjadi seorang Ayah”. Ternyata Ibu hamil, Ayah pun bersorak sorai atas berita bahagia yang didengar oleh telinganya sendiri. Ibu pun terenyum lebar, melihat Ayah bahagia.
Ketika usia kehamilan Ibu ganjil 3 bulan, Ibu tidak merasakan ngidam yang aneh-aneh. Ibu hanya meminta, supaya Ayah selalu ada disamping Ibu. Ibu merasa nyaman ketika Ayah berada disampingnya, mungkin naluri seorang Ibu sudah mendarah daging ketika Ibu hamil. Sungguh pemandangan yang sangat romantis, Ayah selalu setia berada disamping Ibu, merawat Ibu dengan sabar, penuh perhatian serta kasih sayang. Ayah selalu mengerti akan keadaan Ibu yang sedang hamil muda, naluri seorang Ayah juga telah mendarah daging ketika Ayah mengetahui jika Ibu hamil. Satu hal yang selalu Ibu lakukan ketika sedang hamil, Ibu sangat rajin membaca Al-quran. Meluangkan waktu untuk membaca ayat-ayat Allah, bisa membuat si cabang bayi dalam perut Ibu tenang. Terkadang Ayah juga suka mengelus-elus perut Ibu, sambil membisikan sesuatu kedalam perut Ibu yang buncit, dan diakhiri dengan kecupan dikening Ibu. Bunyi bisikan itu seperti ini, “Cepat lahir ya Nak, Ayah dan Ibu disini  menanti kehadiranmu, kalau sudah lahir jadilah anak yang baik dan selalu menurut pada Ibu dan Ayah”.

Semakin hari perut Ibu semakin membuncit saja, bobot badan yang dibawa oleh Ibu semakin bertambah berat juga. Seperti tradisi dan sudah menjadi suatu adat kebiasaan suku Sunda, ketika seorang perempuan yang sedang hamil 7 bulan, maka harus melakukan Tujuh Bulanan. Ibu dimandikan dengan air kembang, dengan berbagai macam jenis bunga, terus Ayah memotong buah kelapa menggunakan golok yang sangat tajam, lalu Ibu dan Ayah berjualan rujak tumbuk tapi orang yang membeli rujak itu harus menggunakan uang yang berbentuk bulat bundar dan terbuat dari genting rumah. Entah maksud dan tujuannya seperti apa, tidak jelas apa yang ingin dicapainya dengan melakukan hal seperti itu, yang jelas mereka hanya mengikuti dan menghargai tradisi keluaraga mereka, walaupun dalam segi pembiayaan tradisi itu dibutuhkan dana yang lumayan sangat besar.
Bulan berikutnya, kehamilan Ibu menginjak 8 bulan. Ketika Ibu sedang bersantai di depan rumah sambil minum susu dan melihat orang yang sedang membajak sawah, tiba-tiba perut Ibu sepertinya ada yang menendang-nendang dan ternyata itu adalah si cabang bayi yaitu aku yang masih ada di dalam perut Ibu. Ibu bercerita kepada Ayah, jika perutnya ditendang-tendang Ibu selalu meringis kesakitan, lalu Ayah mencoba menenangkan Ibu dengan mengelus-ngelus perut Ibu. Katanya ketika perut Ibu yang hamil ditendang-tendang seperti itu rasanya sakit, tapi jika dielus-elus oleh sang suami tercinta sakitnya bisa hilang. Oh ya, . . .

Waktu kelahiran sang cabang bayi yang dinanti-nanti oleh Ibu dan Ayah semakin dekat saja, seperti menunggu sebuah moment yang paling berharga selama 3 tahun membina pernikahan. Di usia kehamilan ibu yang ke-9 bulan, Ibu sering sekali merasakan kesemutan dikakinya, kata Ayah kaki Ibu bengkak karena terlalu berat membawa seorang cabang bayi yang belum jelas jenis kelaminnya, entah laki-laki entah perempuan, apakah sehat atau sebaliknya tidak sehat. Apapun yang terjadi nanti serahkan saja semua kepada sang pencipta alam ini. Tapi disinilah sang Ayah selalu berperan penting dalam menyemangati Ibu dengan penuh kasih sayang. Ayah tidak mau jika Ibu sampai menangis dan terlarut dalam sebuah kesedihan yang tidak pasti. Ayah ingin melihat Ibu selalu tersenyum lebar bagaimanapun caranya. Itulah cinta dan kasih sayang seoang Ayah ketika Ibu sedang hamil.
Penantian selama 3 tahun, kerja keras banting tulang untuk mendapatkan rumah impian, berusaha untuk menambah kebahagian dengan memperbanyak penghuni rumah. Sembilan bulan, Ibu membawa janin yang belum jelas perempuan atau laki-laki, cantik atau ganteng, sehat atau tidak. Mereka hanya bersabar dan terus bersabar menanti-nanti anak pertama mereka lahir. 3 tahun lamanya menyajikan sebuah kisah yang tak pernah dilupakan oleh Ibu dan Ayah, membina kehidupan dengan sebuah senyuman yang lebar. Ketulusan hati seorang Ayah dan kesabaran hati seorang Ibu, mengkokohkan mereka menjadi keluarga yang amat sangat sederhana dan bahagia.
Belajar dari kehidupan mereka, berawal dari titik yang tidak mempunyai arti apapun untuk menjalani sebuah kehidupan.  Kemudian titik itu menjadi garis yang bisa mengguratkan sebuah kisah awal dalam kehidupan. Lalu garis itu menjadi sebuah bidang yang mempunyai bentuk dan mulai terlihat gambaran yang jelas untuk menyempurnakan kehidupannya. Bidang yang nantinya akan menghasilkan sebuah gambar dari cerita kehidupan dua insan manusia yang menanti sang cabang bayi.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers