Memoar Part II

SELAMAT DATANG DUNIA-KU
Oooaaaaaaaa-ooaaaaaaaaaaaa-ooaaaa, itulah suara tangisanku ketika sudah bosan hidup di dalam perut ibu selama 9 bulan lebih 14 hari. Untuk pertama kalinya, dan tidak bisa terdengar lagi untuk kedua kalinya disepanjang hidupku. Ibu, Ayah, Nenek dari Ibu, Nenek dari Ayah, dan seorang Nenek tua yang menjadi inspektur ketika Ibu melahirkanku, kalau dalam Bahasa Sundanya itu ada sebuah istilah yang namanya  “paraji orok”. Ya merekalah orang-orang yang beruntung, karena telah mendengar suara tangisan emasku untuk pertama kalinya.


Detik itu, menit itu, jam itu, hari itu, sebuah kabar bahagia datang di negara Indonesia, pulau Jawa, provinsi Jawa Barat, kota Bandung, Kecamatan Arjasari, Desa Lebakwangi, Kampung Cibeureum, No. 21 hari Selasa pukul 10.30 pada tanggal 26 Mei 1993, telah tercatat di pemerintahan setempat seorang anak perempuan yang bernama Novi Adriyanti lahir dengan selamat serta dengan keadaan sehat, mempunyai berat badan 3 kg 5o gram dan tinggi 36 cm.
Bayi perempuan cantik lahir dari keluarga kecil yang baru menempuh hidup bersama selama 3 tahun setelah menikah. Bayi yang berasal dari keluarga campuran dari kota Bandung dan Garut. Ketika itu Ibu dan Ayah sangat bahagia, karena anak pertama yang mereka nantikan itu kini telah hadir diantara mereka, anak yang selalu menendang-nendang perut Ibu kini telah lahir, dan itulah aku.
Yaa Aku Novi Adriyanti, sebuah filosopi nama yang terinspirasi karena ketidak sengajaan Ayah ketika membaca sebuah koran harian yang di dalamnya tertulis sebuah nama Novi Adriyanti. Sungguh ironis dan agak necis terdengarnya. Ternyata asal usul namaku berasal dari sebuah koran harian. Kedengaranya memang sedikit unik, lain daripada yang lain, tapi terimakasihku ku ucapkan kepada Ayah yang sudah memberi nama kepadaku. Nama adalah sebuah harapan dan doa dari orangtua untuk anaknya. Dengan harapan, semoga kelak namaku yang sesungguhnya bisa selalu terpampang di dalam sebuah Koran.


          Seperti kebiasaan suku Sunda lainnya, ketika berumur 1 bulan Ibu dan Ayah melakukan sebuah acara syukuran atas lahirnya anak pertama mereka. Mudah-mudahan dengan lahirnya aku ke dunia ini, bisa menambah kebahagia mereka. Setelah aku bisa menghirup udara kebebasan yaitu udara dunia untuk pertama kalinya, dalam hatiku aku berteriak “Selamat Datang Dunia, Inilah aku seorang anak manusia yang baru lahir”. Kemungkinan itu pasti ada, tapi sepertinya tidak mungkin seorang bayi yang baru lahir bisa berteriak seperti itu.  Walaupun teriakan itu berasal dari dalam hati dan hanya bisa terdengar oleh dirinya sendiri.
          Kini usiaku beranjak 2 bulan. Kata Ibu, aku sudah mulai bisa melihat ya walaupun sedikit agak remang-remang. Butuh kacamata yang sangat super agar penglihatanku bisa jelas dan normal. Tapi apakah ada penyedia kacamata untuk seorang bayi yang baru lahir? Mungkin hal itu perlu dipertanyakan. Siapakah orang yang pertama aku lihat? Mungkin orang yang pertama aku lihat adalah Ibu. Semuanya serba tidak pasti, hanya kata mungkin yang tercetus ketika berbicara tentang ingatan seorang bayi. Kemungkinan benar dan kemungkinan salah, kemungkinan dibenarkan dan kemungkinan disalahkan. Pertumbuhanku dari hari ke hari sangat cepat sampai-sampai berat badanku dikatakan tidak normal untuk ukuran bayi diusia seperti itu. Mungkin aku terlalu lelah latihan untuk bisa membuka mata dan bisa melihat dengan normal, karena berlatih dengan sangat ekstra sehingga energiku cepat habis. Aku layaknya bayi yang hobinya kelaparan dan rasa lapar itu selalu menghantui, akhirnya aku terlalu semangat meminum ASI dan kesimpulan dari semua itu aku menjadi bayi yang gemuk.
          Diusiaku yang ke-3 bulan. Kata Ibu lagi, aku sudah mulai bisa mengeluarkan suara yang tidak jelas bunyinya. Kurang lebih seperti ini suaraku “haaaoooooooo--uuoooooo--aoooooo”. Nah begitulah kata Ibu sambil mempraktekannya. Mungkin ketika itu aku sedang bernyanyi, kalau dalam bahasa bayinya aku sedang latihan vocal. Ternyata aku hebat, diusia 3 bulan aku sudah bisa mengeluarkan suara yang tidak jelas struktur katanya, dan tidak mudah dipahami oleh siapapun termasuk aku sendiri. Semoga di zaman yang tekhnologinya sudah canggih seperti ini ada orang yang bisa menciptakan mesin untuk mengartikan bahasa bayi, sehingga mudah bagi bayi untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya kepada khalayak umum terutama kepada Ibu mereka ketika cacing diperut sudah demo meminta makan.
          Bertambah satu bulan lagi usiaku menjadi 4 bulan. Kata Ibu lagi dan lagi, aku sudah bisa membalikan badan ke kanan dan ke kiri, kalau membalikan badan ke atas dan ke belakang aku belum bisa, perlu latihan khusus ke tempat senam tubuh. Jungkir sana jungkir sini, membuat badanku pegal-pegal dan sakit. Hanya bisa tengkurap beberapa menit lalu menangis sebagai simbol paling ampuh untuk meminta tolong kepada Ibu. Sesak napas menahan berat badanku yang gemuk. Semakin bertambah usia, aku semakin gemuk. Ibu harus mengatur pola makanku. Masa masih bayi sudah obesitas.
          Bulanpun berganti dengan sendirinya, setelah 5 bulan aku lahir dan satu bulan latihan tengkurap dengan baik, akhirnya aku bisa tengkurap dengan waktu yang lama. Selalu berputar-putar dan mengelilingi tempat tidur sambil tengkurap. Dulu Ibu selalu mentertawakanku karena tiap kali aku tengkurap selalu diikuti dengan putaran-putaran kepalaku yang terlihat aneh. Itu yang membuat Ibu geli, sehingga Ibu tertawa terbahak-bahak melihat tingkah anaknya yaitu aku sedang memutar-mutarkan kepala sambil tengkurap. Ya ampun Bu, sampai segitunya. Aku kan malu ditertawain, andai saja Ibu tahu kalau aku ini orangnya pemalu tapi tidak jarang aku suka malu-maluin orang lain termasuk malu-maluin diriku sendiri.
          Bulan November, artinya aku sudah 6 bulan. Kata Ibu sosok wanita yang melahirkanku, aku sudah bisa merangkak. Namun dibalik keberhasilan itu ada terdapat sebuah cerita yang membuat berat badanku normal seperti bayi-bayi yang lain. Aku sakit dan akhirnya berat badanku turun, aku jadi gak gemuk lagi, tapi tetap masih lucu dan menggemaskan. Terima kasih Tuhan, ketika itu aku sakit, karena dengan sakit berat badanku menjadi normal lagi. Jika tidak sakit mungkin saja sampai saat ini berat badanku dipertanyakan.

          Diusiaku yang ke-7 bulan, aku semakin pintar saja merangkak, kalau ada lomba merangkak bayi tingkat Asia, kemungkinan besar aku akan menjadi seorang pemenang. Seorang bayi bernama Novi Adriyanti menjadi Juara Umum Merangkak Bayi Tingkat Asia. Mungkin waktu itu juga aku dan keluargaku bisa terkenal. Waah sepertinya kampungku mendadak terkenal, tapi gak mungkin karena sampai hari inipun aku belum pernah mendengar ada lomba merangkak bayi tingkat Asia. Diusiaku yang ke-7 bulan juga, aku sudah bisa duduk dengan bantuan kursi. Kalau tidak dibantu dengan kursi, aku pasti jungkir ke belakang, masalahnya ribet deh kalau jungkir. Pasti aku menangis keras, kepalaku benjol dan paling aku takutkan kepalaku berdarah lalu bocor, kepalaku harus dioperasi kemudian operasinya itu gagal karena aku dijadikan percobaan untuk operasi itu. Aku jadi bayi yang kehilangan masa depan karena aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan otakku menjadi cacat. Ooh Tuhan untung kejadian itu tidak menimpaku, aku bersyukur atas namaMu.
          Nah disinilah tepat usiaku yang ke-8 bulan, aku sudah bisa duduk mandiri tanpa bantuan apapun dan siapapun. Duduk sambil menari-nari, tertawa, dan memakan biskuit. Itulah sebuah kebiasaan ketika usiaku 8 bulan yang patut dicontoh oleh bayi-bayi yang lain. Dengan polosnya, aku buang air kecil sembarangan dicelana, bahkan buang air besar. Dan itulah hal yang tidak patut dijadikan contoh untuk bayi-bayi yang lain. Maklum ketika itu aku masih belum bisa membuka celana sendiri, aku hanya bisa menangis ketikaku celanaku sudah basah. Tapi untungnnya kebiasaan buruk itu tidak dibawa sampai sekarang. Wah parah deh kalau kebiasaan itu dibawa sampai dewasa, sepertinya tiap hari aku harus pake popok bayi dengan ukuran Exstra Large (XL). Itu juga kalau ada penyedia popok dengan ukuran super, kalau tidak ada, siap-siap saja deh bawa celana dalam yang banyak tiap hari.
Hal yang tak disangka-sangka oleh kedua oangtuaku, aku berkembang dengan sangat pesat. Diusiaku yang ke-9 bulan, aku sudah bisa berdiri sendiri tanpa bantuan alat apapun. Berjalan dengan langkah-langkah yang belum teratur. Sekali berdiri, berjalan 4 sampai 5 langkah lalu terjatuh lagi. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, dan langkah ke empat terjatuh. Aku tidak pantang menyerah, aku berusaha bangkit kembali, satu langkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah, dan langkah yang ke lima terjatuh lagi. Setidaknya ada peningkatan dari 4 langkah menjadi lima langkah. Sebuah usaha yang sangat keras, karena keinginanku yang keras untuk bisa berjalan meraih makanan. Naluri seorang bayi terhadap benda. Benda apapun itu selalu dianggap makanan, ambil lalu dimasukan kedalam mulut. Untung yang diambil itu bukan sesuatu yang menjijikan.
Diusiaku yang ke-10 bulan, aku memantapkan lagi usahaku untuk bisa berjalan. Setiap ada waktu kosong bersama Ibu dan Ayah, aku selalu berlatih. Mereka membawaku ke lapangan yang sangat luas hanya sekedar untuk melatih langkah kakiku yang masih belum lancar. Berjalan dengan terbata-bata, keseimbanganku terus dilatih. Senggol kanan, senggol kiri, bluuug jatuh ke bawah. Ternyata tak semudah yang mereka kira. Hingga akhirnya aku bisa berjalan.
“Dulu dia masih dalam kandunganku. Menendang-nendang perutku, Sekarang dia telah bisa berjalan.” Itulah sebuah kata-kata yang terlamunkan oleh Ibu ketika melihatku sedang terpincang-pincang sambil memegang kursi yang ada di dekat lemari coklat. Walaupun belum genap 12 bulan tapi aku sudah mahir untuk berdiri sendiri, ya walaupun dengan bantuan kursi sebagai alat pegangan aku bisa berjalan dengan terpincang-pincang.
Usia 11 bulan, gigi depanku sudah tumbuh. Seperti anak normal lainnya, gigi susuku tumbuh dengan warna putih. Jika gigiku warna merah, itu tandanya ada sesuatu yang tidak normal dalam diriku. Ibu selalu teringat akan sebuah kejadian ketikaku sedang menggosok gigi, aku malah menjilat-jilat pasta giginya. Mungkin itulah naluri kekanak-kanakanku yang masih polos dan belum mengerti apa-apa. Untung saja ketika itu aku tidak overdosis gara-gara makan pasta gigi. Kalau keracunan, mungkin saat itu busa keluar dari mulutku, Ibu pasti panik, lalu membawaku ke rumah sakit. Ternyata di rumah sakit tidak ada Dokter ahli yang menangani kasus seperti itu, akhirnya aku tidak terselamatkan dan meninggal dunia gara-gara keracunan pasta gigi. Lalu Ibu menjadi tersangka karena telah lalai dalam mengurus anaknya. Ooh Tuhan, berita itu sampai diliput oleh sebuah stasiun TV swasta dan masuk koran. “Seorang bayi manusia bernama Novi Adriyanti, berumur 11 bulan meninggal dunia karena keracunan pasta gigi. Hal itu disebabkan karena sang Ibu dari anak tersebut lalai dalam menjaga anaknnya. Perusahaan pasta gigi yang bersangkutan mengalami kebangkrutan total setelah peristiwa itu diketahui oleh semua orang”. Tapi untungnya semua hal itu tidak terjadi kepadaku, itu hanya sebuah lamunan yang mengacaukan jalan pikiranku saja. Untuk Ibu terimakasih telah menjagaku dengan baik.
Akhirnya usiaku 1 tahun. Diusiaku ini, aku sudah pintar berjalan, bahkan lari kesana kemari, seperti kuda yang lepas dari kandangnya. Loncat seperti katak yang sedang berburu mangsanya. Tapi aku tidak seperti ular yang selalu berganti kulit setiap bulannya.  Suatu waktu aku bisa terjatuh juga, seperti tupai yang pintar melompat tapi bisa terjatuh juga. Pintar mengelurakan kata-kata. “mamah-mamah, makan” kurang lebih seperti itu karena dalam pikiranku ketika itu hanya makan dan makan.


Dulu, aku masih ada dalam kandungan Ibu, disebuah ruang sempit yaitu rahim ibu yang dilapisi dengan dinding plasenta sebagai penyalur nutrisi serta tempat asupan makanku ketika itu. Lalu aku terlahir kedunia dengan tangisan yang sangat kencang, mengegerkan alam semesta ini dan berteriak “Selamat datang duniaku”.
Kemudian aku tumbuh dan berkembang, satu bulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan, tujuh bulan, delapan bulan, sembilan bulan, sepuluh bulan, sebelas bulan, dan dua belas bulan genap satu tahun. Di balik itu semua Ibulah yang menjadi dalangnya. Ayah dialah yang memenuhi kebutuhan dalang selama merawat wayangnya. Dan wayang itu adalah aku. Terimakasih Ibu dan Ayahku, karena aku telah menjadi wayang dikehidupan kalian.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers