Potret Memoar IV


ALUR SERAGAM PUTIH MERAH-KU

          Masih teringat dibenak ingatan Ibu, ketika aku lahir dari perutnya, terus bisa tengkurap, duduk sendiri, berjalan, hingga aku mempunyai adik. Ketika aku mulai sekolah kelas satu SD dan mendapat ranking ke-2.  Itulah sebuah moment-moment yang sangat berkesan dan tak pernah dilupakan oleh Ibu.


Selanjutnya alur ceritaku berlanjut ketika menginjak di bangku kelas II SD. Mungkin disinlah aku mulai bisa mengartikan apa itu teman yang benar-benar teman, kawan yang selalu ada ketikaku terancam, lawan dalam perlombaan prestasi, sekaligus musuh dalam selimut. Ketika itu, aku duduk bersama Lia sodaraku dan Erna temanku yang pintar tapi licik dan terkadang menyebalkan. Ketua kelasnya adalah sang juara kelas waktu kelas I dialah Candra Setiawan. Sosok laki-laki yang pendiam, misterius, dan jarang ngomong tapi pinter. Diam-diam aku suka sama Ketua Kelasku itu.
          Sepenggal cerita, Erna teman sebangku yang menyebalkan itu tiba-tiba menyerobot dan menjatuhkanku dari belakang dengan kekuatan tangan besinya, dia langsung melakukan hal seperti itu kepadaku tanpa alasaan dan pikir panjang. Aku terperosok ke dekat tong sampah, terjatuh dan kakiku tergores batu aspal yang kasar. Kakiku terluka hingga berdarah. Lalu tiba-tiba Candra sang ketua kelas menolongku, dan segera melaporkan kejadian itu kepada Ibu Noneng selaku wali kelasku. Lalu Ibu Noneng hanya menegur Erna dan menasehatinya agar kejadian yang serupa tidak terjadi lagi. Usut punya usut, ternyata Erna itu adalah keponkan Ibu Noneng, pantas saja Erna selalu di anak emaskan oleh Ibu Noneng.
Setibanya dirumah, aku menceritakan kejadian itu kepada Ibu. Sepertinya Ibu sangat khawatir akan kejadian itu. Hingga keesokan harinya Ibu mengatrakanku pergi ke sekolah dan menasehati Erna. Ketika itu, Erna terdiam karena dia mengaku salah, dan akhirnya meminta maaf kepadaku. Yaah pelajaran berharga yang aku dapat dari kejadian itu, tak selamanya teman itu baik, terkadang mereka menjadi seorang musuh dan lawan yang harus dikalahkan. Teman, mereka adalah sosok yang selalu memanfaatkanku dan bisa dimanfaatakan olehku. Kita saling ketergantungan satu sama lain. Hubungan simbiosis mutualisme selalu berlaku antara seorang teman dan karibnya.
 


Kelas II aku dipercaya lagi untuk mengikuti lomba menulis. Setelah menang dan menjadi nomor satu di tingkat desa, lalu tingkat kecamatan, dan terakhir tingkat kabupaten aku mendapat juara ke-2. Sayang, kabar angin menyebutkan jika penjurian waktu itu agak sedikit curang. Walaupun tidak menjadi nomor satu, tapi semangat dan gairah untuk belajar selalu bergelora.
          Namun gairah untuk belajarku pupus, dikarenakan waktu itu aku sakit. Sakit yang lumayan menguras antibodi tubuhku. Dokter memfonis jika aku sakit Thypus, Gejala Bronkhitis, Peradangan Tenggorokan, serta Demam. Hampir saja ketika itu aku disuruh untuk di rontagen oleh Dokter. Tapi dalam hati aku optimis akan sembuh, aku bisa sehat lagi. Ibu sangat khawatir akan keadaanku, dengan hati yang tulus Ibu selalu merawatku. Menyuapiku makan walaupun terkadang makanan itu keluar lagi dari mulutku. Tapi Ibu juga yakin jika aku akan sembuh dan bisa kembali sekolah. Selepas Ibu shalat, Ibu selalu mendoakan anaknya supaya bisa sembuh.
Sakit yang memakan waktu lama, tidak terasa ketika itu aku berusia 8 tahun.
Sabtu, 26 Mei 2001
“Selamat Ulang Tahun anakku. Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-8. Walapun aku sedang sakit, tapi semoga sakit ini menjadi kekuatan untukku dalam menghadapi segala ujianmu. Selamat Ulang Tahun untuk diriku sendiri.
Selama satu bulan lebih, aku diam di rumah untuk istirahat dan memulihkan tubuhku hingga kembali sehat. Ketinggalan pelajaran itu sudah menjadi resiko seorang pelajar yang sakit. Dengan ridho Allah Swt, akhirnya aku sembuh dan bisa sekolah lagi. Efek dari penyakit itu, membuat rambut di kepalaku rontok dan ketinggalan pelajaran selama satu bulan lebih lamanya. Untung musim gugur yang menerepa rambutku itu tidak membuat kepalaku menjadi botak. Beribu-ribu terima kasih kepada Ibu, karena dia telah sabar merawatku ketika sedang sakit.
30 Juni 2001, kenaikan kelas tiba, prestasiku menurun. Aku mendapat juara 5. The Winner kelas II, tak berubah dan tak berganti tetaplah dia sosok ketua kelas yang diam-diam aku sukai, Candra Setiawan.
 


Alur yang berbeda serta pengalaman hidup yang berbeda. Duduk di kelas III SD. Tidak bosan-bosannya, ketika itu aku duduk lagi bersama Lia saudaraku yang terkadang manis di luar dan pahit di dalam. Dan satu hal yang tak tergantikan, Ketua Kelas waktu itu tidak lain dan tidak bukan Candra Setiawan. Tapi untuk merubah suasana kelas, akhirnya Wali Kelas ketika itu beralih posisi yaitu Ibu Cicah, sosok guru yang selalu enerjik dalam mengajar dan mempunyai suara yang merdu.
Ketika itu, aku dan teman-teman mendengar kabar katanya kelas yang aku tempati itu akan kedatangan dua teman baru, pindahan dari Bogor dan Ciwidey. Ternyata memang benar, ada seorang bocah laki-laki bernama Aif Rahman Arif, dia pindahan dari Bogor dan satu lagi seorang anak perempuan bernama Iis Wartini pindahan dari Ciwidey. Ternyata sosok anak baru pindahan dari Bogor itu, sedikit telah melencengkan perhatiaanku dari sang ketua kelas. Walaupun sedikit, tapi tetap saja melenceng.

Menuju puncak keberanian seiring dengan bertambahnya usiaku. Semakin bertambah usiaku, semakin bertambah pula nilai kehidupanku di dunia ini. Nilai kehidupan yang amat sangat berharga dan tidak ada harganya jika aku tidak memahami semua nilai kehidupan itu.

Minggu, 26 Mei 2002
“Selamat Ulang Tahun anakku. Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-9. Menuju puncak untuk mencapai keberanian, buktikan jika aku itu adalah anak yang berani berbuat dan berani bertanggung jawab. Berani dalam segala hal, terkecuali berani dalam berbuat kesalahan. Selamat Ulang Tahun untuk diriku sendiri.
Di kelas III, disinlah aku mulai meraih suatu keberanian yang benar-benar datang dari diriku sendiri tanpa paksaan seorang Ibu maupun paksaan seorang Presiden. Mulai mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Ketika itu semua siswa wajib mengikuti ekstrakulikuler yaitu Pencak Silat. Mungkin ketika itu aku agak sedikit menonjol dalam bidang pencak silat dibandingkan dengan teman-temanku yang lainnya. Semua jurus sudah aku hapal. Mulai dari jurus Parered, sampai jurus Tepak Tilu, dan Padungdung sudah aku kuasai dengan sangat matang. Dan suatu hari, aku di suruh oleh Bapak Mimin selaku guru Pencak Silat untuk pentas disebuah acara hajatan. Dari panggung yang satu ke panggung yang lain, setidaknya pengalaman seperti itu memupukku untuk bisa tampil berani didepan umum. Haiiiciaaa-haciiaaaaah. . . . siapa berani, lawan aku.
29 Juni 2002,  tiba waktunya untuk kenaikan kelas. Penantian yang sangat mendebarkan ketika akan diumumkannya sang juara kelas. Apakah sang ketua kelas akan bertahan di urutan ke satu atau ada pengganti yang baru. Ternyata Teni Lestari, pendatang baru yang menjadi The Winner di kelas ketika itu. Teni wanita yang mempunyai rambut keriting.
 


Libur sekolah telah usai, dan akupun masuk di ruangan baru dan kelas baru dengan baju baru di kelas IV SD. Tapi dengan teman yang sama dan wali kelas yang sama ketika kelas III SD yaitu Ibu Cicah sosok guru yang sangat aku kagumi. Waktu itu aku duduk dengan Teni, ya Teni sang juara kelas ketika di kelas III SD. Sudah jenuh duduk bersama saudaraku Lia, semakin hari dia semakin menjadi. Kini perhatianku tertuju kepada sang juara kelas yang baru. Tau gak sih, ternyata diam-diam Teni juga menyimpan rasa suka kepada Candra. Pengalaman pertamaku dibodoh-bodohi oleh teman sebangku sendiri. Ya teman sebangkuku yang pintar itu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa saja yang dia inginkan, merasa berkuasa, dan kekuasaan itu dimanfaatkan dengan semena-mena. Pintar dalam pelajaran it’s ok, tapi pintar dalam membohongi teman sendiri no waay. Teman seperti apakah itu? Aku bukan keledai yang bisa dibodoh-bodohi oleh orang lain. Aku belajar di sekolah itu tidak lain hanya untuk mendidikku supaya aku menjadi anak yang pintar.
Dari sanalah, aku mulai bisa memilih serta membedakan mana teman yang baik dan mana teman yang tidak baik. Memilih dan memilah-milah teman itulah yang aku lakukan agar aku tidak terjerumus dan ikut-ikutan berkuasa dengan kekuasaan yang semena-mena.
Senin, 26 Mei 2003
“Selamat Ulang Tahun anakku. Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-10. Di usiaku ini, aku belajar memilah dan meilih teman. Karena teman adalah orang yang akan menemani kita selama kita jauh dari orang tua. Maka dari itu aku harus pintar-pintar dalam memilih  teman. Selamat Ulang Tahun untuk diriku sendiri.
Ketika itu, aku semakin mantap untuk berfantasi dan berekspresi dari panggung satu ke panggung yang lainnya lewat Pencak Silat. Hingga pada suatu saat, ketika manggung dihajatan, aku sampai mendapatkan uang yang banyak dari hasil manggung itu. Uang itu aku tabung dan selebihnya aku serahkan kepada Ibu. Ibu menjadi manager keuanganku selama aku menjadi artis Pencak Silat.
28 Juni 2003, kenaikan kelas menuju tingkat pendewasaan yaitu kelas V SD. Aku masuk lima besar. Ranking 5, lumayan daripada sama sekali gak ranking bahkan gak naik kelas. Oooh tidaak, . . . tidak ada kata gak naik kelas dikamus hidupku.
 


Sama halnya ketika di kelas IV, aku duduk bersama Teni sang Juara kelas yang tak bisa terkalahkan oleh siapapun. Walapun tak henti-hentinya aku seperti dijadikan budak olehnya, tapi have fun, semua yang dilakukan pasti akan ada akibatnya, tinggal menunggu waktu dan tanggal mainnya saja. Suasana seorang pengajarapun berubah, Ibu Lilislah yang mengajar kami di kelas V. Pada saat itu, aku mulai belajar merangkai sebuah persahabatan bersama teman-teman yang telah aku anggap sebagai saudara, mereka adalah Iis Wartini, Lustriana, Nina, Iis Sania, Teni. Juga dimulailah pula rangkaian awal kisah kasih tentang dua insaan manusia antara aku dan dirinya. Dirinya adalah laki-laki, dan aku adalah perempuan.
Rabu, 26 Mei 2004
“Selamat Ulang Tahun anakku. Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-11. Menuju pendewasaan. Selamat Ulang Tahun untuk diriku sendiri.
Teringat akan sebuah kejadian, ketika menginjak usia ke-11 tahun, aku diberi tamparaan super ekstra keras dan menyakitkan stadium teratas. Tamparan itu diberikan oleh teman sekaligus kakak kelaku yaitu Teh Mala. Untung saja aku ini orangnya sabar, jadi tamparan itu tidak membuat kami saling baku hantam. Entah, budaya Indonesia memang aneh. Orang yang sedang ulang tahun, malah di tampar dan disakiti. Harusnya orang yang sedang ulang tahun itu diberikan kebahagiaan, diingatkan untuk merubah perilaku hidup menjadi lebih baik. Tapi tidak masalah selama tamparan itu tidak membahayakan dan dalam batas permainan semata, aku tidak akan melaporkan kekerasan itu kepada pihak berwajib.
Semakin dewasa gelora asmara di jiwaku. Di kelas V, aku juga mulai merasakan tetesan rasa–rasa yang indah, dan tetesan rasa itu ku beri nama cinta. Cinta pertama sekaligus Cinta Monyetku jatuh kepada anak baru pindahan dari Bogor yaitu Aif Rahman Arif. Dialah sosok penyemangatku untuk belajar waktu itu. Aif, sosok laki-laki yang mempunyai postur tubuh kurus, tinggi, item tapi manis. Sifatnya yang kocak dan selalu membuatku tertawa setiap harinya. Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama, belajar bersama, mengerjakan tugas di sekolah. Sampai kebersamaanku dengannya membuat orang terdekatku merasa cemburu. Orang terdekatku ketika itu Teni, sepertinya dia juga memendam rasa iri, karena melihatku bisa bahagia.
Seiring berjalannya waktu cinta monyetku hanya bertahan 3 minggu saja. Kisahku bersama dirinya harus berakhir karena ulah saudaraku yaitu Lia, di telah menceritakan semuanya kepada Ibu. Entah aku tidak mengerti maunya seperti apa, tapi setidaknya dia telah menjadi dalang kehancuran dalam cerita cinta monyetku. Rasa takut terhadap Ibu telah menjadi akhir dari segalanya. Aku takut Ibu marah karena aku sudah berani pacaran. Masih bau kencur sudah berani pacaran. Mungkin ada baiknya juga dengan memutuskan jalan cerita bersamanya, aku lebih memfokuskan diri untuk belajar. Aku juga tidak perlu khawatir atapun was-was, takut ketahuan oleh Ibu.
3 Juni 2004, kenaikan tiba, setidaknya rankingku naik jadi ranking 4. Ternyata semangatku tak pernah berhenti walaupun cinta monyetku sudah mati.

Puncak dimana belajar yang serba ekstrim dan kisah-kisah cinta yang bergejolak menerpa di dalam dada serta persahabatan yang penuh dengan perselisihan, canda dan tawa. Kelas VI, puncak kegembiraan, dan kesenangan serta kesan dan pesan yang didapat selama 6 tahun. Mulai dari kelas I, kelas II, kelas III, kelas IV, kelas V, kelas VI. Masa seperti itu dibutuhkan seorang guru yang tangguh, dialah Bapak Adang, sosok guru yang tangguh, yang mengajar kami tanpa rasa letih. Semangat yang datang untuk menghadapi soal-soal ujian.
Kelas VI, aku duduk dengan Lustriana, tidak dengan Teni. Karena dia sudah mendapatkan hidayah dari Tuhan. Maka dari itu aku berpindah haluan untuk tidak menjadi budak suruhannya. Ketika  itu aku mempunyai sekumpulan teman atau dalam bahasa gaulnya disebut Geng. Geng itu kita beri nama The Girls On Fivers, dimana kelompok itu merupakan kumpulan 5 wanita diantaranya aku sebagai Novi, Ninawati, Iis Sania, Iis Wartini, Lustriana. Cantik-cantik, tentunya pada pintar, pada gaul, dan sangat disegani oleh banyak orang.


Kisah asmaraku bertambah lagi aku mengukir sebuah cerita cinta lagi bersama seorang laki-laki yang bernama Wawan. Dia bocah SMP, karena aku masih awam dalam hal cinta-cintaan jadi aku masih plinplan dalam berpendirian dan akhirnya tanpa alasan yang jelas akupun pergi meningglkannya. Namun seperti peribahasa, hilang satu tumbuh seribu, sosok yang dulu pernah aku sukai, dambai dia adalah sang ketua kelas ketikaku duduk di kelas II dan III. The Winner Candra Setiawan, ternyata selama ini diam-diam dia suka kepadaku. Sungguh disayangkan ketika itu rasa sukaku kepadanya sudah hilang, karena rasa suka itu sudah terlalu lama aku pendam. Semakin lama aku pendam rasa itu, dan akhirnya hilang. Hilang karena suatu saat aku telah menemukan sosok penggantinya. Dengan rayuan sahabat-sahabatku, mereka menjodohkanku dengan Candra. Atas nama sahabat akhirnya aku menyulam sebuah benang-benang cinta bersama Candra. Tanpa pikir yang panjang aku juga setuju dengan sahabat-sahabatku. Ketika Aif mengetahui semua cerita itu, dia marah besar. Berbicara empat mata di sebuah ruangan kelas, aku menjelaskan semuanya secara mendetail. Aku pacaran dengan Candra bukan karena cinta tapi atas nama sahabat. Aif kecewa dengan keputusanku ketika itu, dia tidak terima dengan jalan cerita yang seperti itu. Maafkan aku.
Seiring berjalannya waktu, usiaku juga bertambah.
Kamis, 26 Mei 2005
“Selamat Ulang Tahun anakku. Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-12. Menuju puncak untuk mencapai keberanian, buktikan jika aku itu adalah anak yang berani berbuat dan berani bertanggung jawab. Berani dalam segala hal, terkecuali berani dalam berbuat kesalahan. Selamat Ulang Tahun untuk diriku sendiri.
Di ulang tahunku yang ke-12, aku diberikan kejutan oleh sahabat-sahabatku. Tadinya mereka mempunyai niat akan mengguyurku dengan tepung terigu, telur, dan air. Namun rencana mereka gagal, aku sudah mengetahui semua rencana nakal mereka. Walaupun rencana mereka sudah aku gagalkan, tapi satu yang belum aku gagalkan. Rencana si ketua kelas sekaligus pacarku. Ketikaku sedang terdiam dia menghampiriku dari belakang, lalu menimpuk kepalaku dengan telur, PLOOOOOK. Ampun, sakitnya kepalaku tak sebanding dengan sakitnya Aif ketika melihat adegan itu. Sosok yang penuh dengan kejutan. Dia memberi ucapan selamat dengan menimpuk kepalaku dengan telur. Aku sangat kesal dengan perbuatannya, akhirnya aku marah dengan mengeluarkan air mata. Semua rencana digagalkan, karena aku terlanjur marah. Akhirnya semua bahan-bahan adonan kue itu aku bawa ke rumah. Setibanya di rumah, aku dan Ibu membuat kue. Keesokan harinya kue itu aku bagikan. Orang pertama yang menicipi kue itu adalah Candra. Sahabat-sahabatku, mereka semua pada rakus, dengan seketika kue itu langsung habis.
Ceritaku bersama sahabat, Geng The Girls On Fivers terus berjaya. Cerita bersama sang ketua kelaspun terus mengalir bagaikan air. Walaupun pada mulanya aku pacaran atas nama sahabat, tapi seiring berjalnnya waktu rasa itu mulai tumbuh. Sungguh aneh, aku juga nggak tahu, apa yang sebenarnya terjadi ? Misteri apakah ini, apakah ini yang disebut teka teki dalam menjalin sebuah mahligai cinta. Terkadang teka teki itu menyulitkanku untuk menembus jalan keluarnya.
Suatu saat, ada pertandingan olahraga antar sekolah. Ketika itu aku dipercaya menjadi perwakilan dari sekolah untuk mengikuti lomba olahraga dalam bidang atletik. Atletik, olahraga lari, lempar dan lompat. Lari jarak jauh sekitar 120 meter. Di sebuah lapangan sepak bola yang luas, aku bertanding. Aku berada di nomor urut ke-3, ketika itu pemandu lomba mulai menyiapkan peluit. Aku bersiap-siap untuk melakukan perlombaan, pemanasan terlebih dahulu. Sahabat-sahabat dibelakangku berteriak memberiku dukungan. GO Novi, GO Novi, GO GO GO YAAANG. Dukungan mereka membuatku tertawa cekikian ketika itu, hingga si pemandu lomba sempat menegurku. Permainanpun akan segera dimulai, aku mengambil posisi start. Lalu pemandu memberikan aba-aba, SIAP, BERSEDIA, AWAAAAS. . . . . . dan peluit dibunyikan PRIIIIITTT. Dengan semangat bergelora dan keyakinan hati untuk memenangkan perlombaan ini, aku berlari dengan sangat cepat. Sangat sangat cepat, hingga aku merasa mengapung di lapangan. Aku seperti dikejar-kejar oleh seekor Serigala yang kelaparan. Aku haus darah kemenangan. Hingga finish sudah terliat di depan mata, dan akhirnya aku orang yang pertama sampai di finish. Hal yang tak disangka-sangka, di tempat finish sudah menanti sosok laki-laki dan ternyata dia adalah Candra. Dia sengaja menungguku di finish, lalu menyodorkanku sebuah minuman botol sambil mengucapkan “Selamat, kamu menjadi Juara”. Itulah hal yang paling aku ingat sampai sekarang. Dibalik sosoknya yang misterius, dia telah merencanakan sebuah kejutan-kejutan yang tidak disangka. Kejutan itu membuatku selalu tercengang dan kaget.
 Waktu terus berlalu hingga Ujian Nasional (UN) pun dimulai. Ujian selama 5 hari itu, akan menentukan cerita tentang pendidikanku selanjutnya. Akhirnya aku LULUS dengan hasil memuaskan, peringkat ke 3 di sekolah. Jabatan The Winner kini telah tergantikan oleh sahabatku, Iis Wartini dialah The Winner yang baru. Sedangkan Teni, dia beralih posisi ke peringkat 2.
Seperti biasanya setiap 2 tahun sekali, sekolahku selalu memerihkan perpisahan dengan menggelar sebuah upacara adat. Orang yang menjadi The Winner, akan menjadi Raja dan Ratu seharian. Pada saat itu perpisahan angkatanku digelar dengan sangat meriah. Ya, The Winner kita yaitu Iis Wartini menjadi Ratu dan Candra menjadi Rajanya. Karena pada saat itu Candralah laki-laki yang lebih unggul dari laki-laki yang lainnya. Dia menempati peringkat ke-4. Pada saat itu hubunganku bersama Candra masih berjalan dengan baik-baik saja.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers