Potret Memoar IV
ALUR SERAGAM PUTIH MERAH-KU
Masih
teringat dibenak ingatan Ibu, ketika aku lahir dari perutnya, terus bisa
tengkurap, duduk sendiri, berjalan, hingga aku mempunyai adik. Ketika aku mulai
sekolah kelas satu SD dan mendapat ranking ke-2. Itulah sebuah moment-moment yang sangat
berkesan dan tak pernah dilupakan oleh Ibu.
Selanjutnya alur ceritaku
berlanjut ketika menginjak di bangku kelas II SD. Mungkin disinlah aku mulai
bisa mengartikan apa itu teman yang benar-benar teman, kawan yang selalu ada
ketikaku terancam, lawan dalam perlombaan prestasi, sekaligus musuh dalam
selimut. Ketika itu, aku duduk bersama Lia sodaraku dan Erna temanku yang
pintar tapi licik dan terkadang menyebalkan. Ketua kelasnya adalah sang juara
kelas waktu kelas I dialah Candra Setiawan. Sosok laki-laki yang pendiam,
misterius, dan jarang ngomong tapi pinter. Diam-diam aku suka sama Ketua
Kelasku itu.
Sepenggal
cerita, Erna teman sebangku yang menyebalkan itu tiba-tiba menyerobot dan
menjatuhkanku dari belakang dengan kekuatan tangan besinya, dia langsung
melakukan hal seperti itu kepadaku tanpa alasaan dan pikir panjang. Aku terperosok
ke dekat tong sampah, terjatuh dan kakiku tergores batu aspal yang kasar.
Kakiku terluka hingga berdarah. Lalu tiba-tiba Candra sang ketua kelas
menolongku, dan segera melaporkan kejadian itu kepada Ibu Noneng selaku wali
kelasku. Lalu Ibu Noneng hanya menegur Erna dan menasehatinya agar kejadian
yang serupa tidak terjadi lagi. Usut punya usut, ternyata Erna itu adalah
keponkan Ibu Noneng, pantas saja Erna selalu di anak emaskan oleh Ibu Noneng.
Setibanya dirumah, aku menceritakan kejadian itu kepada Ibu.
Sepertinya Ibu sangat khawatir akan kejadian itu. Hingga keesokan harinya Ibu
mengatrakanku pergi ke sekolah dan menasehati Erna. Ketika itu, Erna terdiam
karena dia mengaku salah, dan akhirnya meminta maaf kepadaku. Yaah pelajaran
berharga yang aku dapat dari kejadian itu, tak selamanya teman itu baik,
terkadang mereka menjadi seorang musuh dan lawan yang harus dikalahkan. Teman,
mereka adalah sosok yang selalu memanfaatkanku dan bisa dimanfaatakan olehku.
Kita saling ketergantungan satu sama lain. Hubungan simbiosis mutualisme selalu
berlaku antara seorang teman dan karibnya.
Kelas II aku dipercaya lagi untuk
mengikuti lomba menulis. Setelah menang dan menjadi nomor satu di tingkat desa,
lalu tingkat kecamatan, dan terakhir tingkat kabupaten aku mendapat juara ke-2.
Sayang, kabar angin menyebutkan jika penjurian waktu itu agak sedikit curang.
Walaupun tidak menjadi nomor satu, tapi semangat dan gairah untuk belajar
selalu bergelora.
Namun
gairah untuk belajarku pupus, dikarenakan waktu itu aku sakit. Sakit yang
lumayan menguras antibodi tubuhku. Dokter memfonis jika aku sakit Thypus, Gejala
Bronkhitis, Peradangan Tenggorokan, serta Demam. Hampir saja ketika itu aku
disuruh untuk di rontagen oleh Dokter. Tapi dalam hati aku optimis akan sembuh,
aku bisa sehat lagi. Ibu sangat khawatir akan keadaanku, dengan hati yang tulus
Ibu selalu merawatku. Menyuapiku makan walaupun terkadang makanan itu keluar
lagi dari mulutku. Tapi Ibu juga yakin jika aku akan sembuh dan bisa kembali
sekolah. Selepas Ibu shalat, Ibu selalu mendoakan anaknya supaya bisa sembuh.
Sakit yang memakan waktu lama, tidak terasa ketika itu aku
berusia 8 tahun.
Sabtu, 26 Mei 2001
“Selamat Ulang Tahun anakku.
Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada
Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang
tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup
di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu
dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-8. Walapun aku sedang sakit, tapi semoga sakit
ini menjadi kekuatan untukku dalam menghadapi segala ujianmu. Selamat Ulang
Tahun untuk diriku sendiri.
Selama satu bulan lebih, aku diam
di rumah untuk istirahat dan memulihkan tubuhku hingga kembali sehat. Ketinggalan
pelajaran itu sudah menjadi resiko seorang pelajar yang sakit. Dengan ridho
Allah Swt, akhirnya aku sembuh dan bisa sekolah lagi. Efek dari penyakit itu,
membuat rambut di kepalaku rontok dan ketinggalan pelajaran selama satu bulan
lebih lamanya. Untung musim gugur yang menerepa rambutku itu tidak membuat
kepalaku menjadi botak. Beribu-ribu terima kasih kepada Ibu, karena dia telah
sabar merawatku ketika sedang sakit.
30 Juni 2001, kenaikan kelas tiba, prestasiku menurun. Aku
mendapat juara 5. The Winner kelas II, tak berubah dan tak berganti tetaplah
dia sosok ketua kelas yang diam-diam aku sukai, Candra Setiawan.
Alur yang berbeda serta
pengalaman hidup yang berbeda. Duduk di kelas III SD. Tidak bosan-bosannya,
ketika itu aku duduk lagi bersama Lia saudaraku yang terkadang manis di luar
dan pahit di dalam. Dan satu hal yang tak tergantikan, Ketua Kelas waktu itu
tidak lain dan tidak bukan Candra Setiawan. Tapi untuk merubah suasana kelas,
akhirnya Wali Kelas ketika itu beralih posisi yaitu Ibu Cicah, sosok guru yang
selalu enerjik dalam mengajar dan mempunyai suara yang merdu.
Ketika itu, aku dan teman-teman mendengar kabar katanya
kelas yang aku tempati itu akan kedatangan dua teman baru, pindahan dari Bogor
dan Ciwidey. Ternyata memang benar, ada seorang bocah laki-laki bernama Aif
Rahman Arif, dia pindahan dari Bogor dan satu lagi seorang anak perempuan
bernama Iis Wartini pindahan dari Ciwidey. Ternyata sosok anak baru pindahan
dari Bogor itu, sedikit telah melencengkan perhatiaanku dari sang ketua kelas.
Walaupun sedikit, tapi tetap saja melenceng.
Menuju puncak keberanian seiring dengan bertambahnya usiaku.
Semakin bertambah usiaku, semakin bertambah pula nilai kehidupanku di dunia
ini. Nilai kehidupan yang amat sangat berharga dan tidak ada harganya jika aku
tidak memahami semua nilai kehidupan itu.
Minggu, 26 Mei 2002
“Selamat Ulang Tahun anakku.
Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada
Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang
tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup
di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu
dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-9. Menuju puncak untuk mencapai
keberanian, buktikan jika aku itu adalah anak yang berani berbuat dan berani
bertanggung jawab. Berani dalam segala hal, terkecuali berani dalam berbuat
kesalahan. Selamat Ulang Tahun untuk diriku sendiri.
Di kelas III, disinlah aku mulai
meraih suatu keberanian yang benar-benar datang dari diriku sendiri tanpa
paksaan seorang Ibu maupun paksaan seorang Presiden. Mulai mempunyai rasa
percaya diri yang tinggi. Ketika itu semua siswa wajib mengikuti
ekstrakulikuler yaitu Pencak Silat. Mungkin ketika itu aku agak sedikit
menonjol dalam bidang pencak silat dibandingkan dengan teman-temanku yang
lainnya. Semua jurus sudah aku hapal. Mulai dari jurus Parered, sampai jurus
Tepak Tilu, dan Padungdung sudah aku kuasai dengan sangat matang. Dan suatu
hari, aku di suruh oleh Bapak Mimin selaku guru Pencak Silat untuk pentas
disebuah acara hajatan. Dari panggung yang satu ke panggung yang lain,
setidaknya pengalaman seperti itu memupukku untuk bisa tampil berani didepan
umum. Haiiiciaaa-haciiaaaaah. . . . siapa berani, lawan aku.
29 Juni 2002, tiba
waktunya untuk kenaikan kelas. Penantian yang sangat mendebarkan ketika akan diumumkannya
sang juara kelas. Apakah sang ketua kelas akan bertahan di urutan ke satu atau
ada pengganti yang baru. Ternyata Teni Lestari, pendatang baru yang menjadi The
Winner di kelas ketika itu. Teni wanita yang mempunyai rambut keriting.
Libur sekolah telah usai, dan
akupun masuk di ruangan baru dan kelas baru dengan baju baru di kelas IV SD.
Tapi dengan teman yang sama dan wali kelas yang sama ketika kelas III SD yaitu
Ibu Cicah sosok guru yang sangat aku kagumi. Waktu itu aku duduk dengan Teni,
ya Teni sang juara kelas ketika di kelas III SD. Sudah jenuh duduk bersama
saudaraku Lia, semakin hari dia semakin menjadi. Kini perhatianku tertuju
kepada sang juara kelas yang baru. Tau gak sih, ternyata diam-diam Teni juga
menyimpan rasa suka kepada Candra. Pengalaman pertamaku dibodoh-bodohi oleh
teman sebangku sendiri. Ya teman sebangkuku yang pintar itu menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan apa saja yang dia inginkan, merasa berkuasa, dan
kekuasaan itu dimanfaatkan dengan semena-mena. Pintar dalam pelajaran it’s ok,
tapi pintar dalam membohongi teman sendiri no waay. Teman seperti apakah itu?
Aku bukan keledai yang bisa dibodoh-bodohi oleh orang lain. Aku belajar di
sekolah itu tidak lain hanya untuk mendidikku supaya aku menjadi anak yang pintar.
Dari sanalah, aku mulai bisa
memilih serta membedakan mana teman yang baik dan mana teman yang tidak baik.
Memilih dan memilah-milah teman itulah yang aku lakukan agar aku tidak
terjerumus dan ikut-ikutan berkuasa dengan kekuasaan yang semena-mena.
Senin, 26 Mei 2003
“Selamat Ulang Tahun anakku.
Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada
Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang
tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup
di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu
dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-10. Di usiaku ini, aku belajar memilah dan
meilih teman. Karena teman adalah orang yang akan menemani kita selama kita
jauh dari orang tua. Maka dari itu aku harus pintar-pintar dalam memilih teman. Selamat Ulang Tahun untuk diriku
sendiri.
Ketika itu, aku semakin mantap
untuk berfantasi dan berekspresi dari panggung satu ke panggung yang lainnya
lewat Pencak Silat. Hingga pada suatu saat, ketika manggung dihajatan, aku
sampai mendapatkan uang yang banyak dari hasil manggung itu. Uang itu aku
tabung dan selebihnya aku serahkan kepada Ibu. Ibu menjadi manager keuanganku
selama aku menjadi artis Pencak Silat.
28 Juni 2003, kenaikan kelas menuju tingkat pendewasaan
yaitu kelas V SD. Aku masuk lima besar. Ranking 5, lumayan daripada sama sekali
gak ranking bahkan gak naik kelas. Oooh tidaak, . . . tidak ada kata gak naik
kelas dikamus hidupku.
Sama halnya ketika di kelas IV,
aku duduk bersama Teni sang Juara kelas yang tak bisa terkalahkan oleh
siapapun. Walapun tak henti-hentinya aku seperti dijadikan budak olehnya, tapi
have fun, semua yang dilakukan pasti akan ada akibatnya, tinggal menunggu waktu
dan tanggal mainnya saja. Suasana seorang pengajarapun berubah, Ibu Lilislah
yang mengajar kami di kelas V. Pada saat itu, aku mulai belajar merangkai
sebuah persahabatan bersama teman-teman yang telah aku anggap sebagai saudara,
mereka adalah Iis Wartini, Lustriana, Nina, Iis Sania, Teni. Juga dimulailah
pula rangkaian awal kisah kasih tentang dua insaan manusia antara aku dan
dirinya. Dirinya adalah laki-laki, dan aku adalah perempuan.
Rabu, 26 Mei 2004
“Selamat Ulang Tahun anakku.
Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada
Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang
tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup
di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu
dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-11. Menuju pendewasaan. Selamat Ulang
Tahun untuk diriku sendiri.
Teringat akan sebuah kejadian,
ketika menginjak usia ke-11 tahun, aku diberi tamparaan super ekstra keras dan
menyakitkan stadium teratas. Tamparan itu diberikan oleh teman sekaligus kakak
kelaku yaitu Teh Mala. Untung saja aku ini orangnya sabar, jadi tamparan itu
tidak membuat kami saling baku hantam. Entah, budaya Indonesia memang aneh.
Orang yang sedang ulang tahun, malah di tampar dan disakiti. Harusnya orang
yang sedang ulang tahun itu diberikan kebahagiaan, diingatkan untuk merubah
perilaku hidup menjadi lebih baik. Tapi tidak masalah selama tamparan itu tidak
membahayakan dan dalam batas permainan semata, aku tidak akan melaporkan kekerasan
itu kepada pihak berwajib.
Semakin dewasa gelora asmara di jiwaku.
Di kelas V, aku juga mulai merasakan tetesan rasa–rasa yang indah, dan tetesan
rasa itu ku beri nama cinta. Cinta pertama sekaligus Cinta Monyetku jatuh
kepada anak baru pindahan dari Bogor yaitu Aif Rahman Arif. Dialah sosok
penyemangatku untuk belajar waktu itu. Aif, sosok laki-laki yang mempunyai postur
tubuh kurus, tinggi, item tapi manis. Sifatnya yang kocak dan selalu membuatku
tertawa setiap harinya. Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama, belajar
bersama, mengerjakan tugas di sekolah. Sampai kebersamaanku dengannya membuat
orang terdekatku merasa cemburu. Orang terdekatku ketika itu Teni, sepertinya
dia juga memendam rasa iri, karena melihatku bisa bahagia.
Seiring berjalannya waktu cinta
monyetku hanya bertahan 3 minggu saja. Kisahku bersama dirinya harus berakhir
karena ulah saudaraku yaitu Lia, di telah menceritakan semuanya kepada Ibu. Entah
aku tidak mengerti maunya seperti apa, tapi setidaknya dia telah menjadi dalang
kehancuran dalam cerita cinta monyetku. Rasa takut terhadap Ibu telah menjadi
akhir dari segalanya. Aku takut Ibu marah karena aku sudah berani pacaran. Masih
bau kencur sudah berani pacaran. Mungkin ada baiknya juga dengan memutuskan
jalan cerita bersamanya, aku lebih memfokuskan diri untuk belajar. Aku juga
tidak perlu khawatir atapun was-was, takut ketahuan oleh Ibu.
3 Juni 2004, kenaikan tiba, setidaknya rankingku naik jadi
ranking 4. Ternyata semangatku tak pernah berhenti walaupun cinta monyetku
sudah mati.
Puncak dimana belajar yang serba
ekstrim dan kisah-kisah cinta yang bergejolak menerpa di dalam dada serta
persahabatan yang penuh dengan perselisihan, canda dan tawa. Kelas VI, puncak
kegembiraan, dan kesenangan serta kesan dan pesan yang didapat selama 6 tahun.
Mulai dari kelas I, kelas II, kelas III, kelas IV, kelas V, kelas VI. Masa
seperti itu dibutuhkan seorang guru yang tangguh, dialah Bapak Adang, sosok guru
yang tangguh, yang mengajar kami tanpa rasa letih. Semangat yang datang untuk
menghadapi soal-soal ujian.
Kelas VI, aku duduk dengan Lustriana, tidak dengan Teni.
Karena dia sudah mendapatkan hidayah dari Tuhan. Maka dari itu aku berpindah
haluan untuk tidak menjadi budak suruhannya. Ketika itu aku mempunyai sekumpulan teman atau dalam
bahasa gaulnya disebut Geng. Geng itu kita beri nama The Girls On Fivers,
dimana kelompok itu merupakan kumpulan 5 wanita diantaranya aku sebagai Novi,
Ninawati, Iis Sania, Iis Wartini, Lustriana. Cantik-cantik, tentunya pada pintar,
pada gaul, dan sangat disegani oleh banyak orang.
Kisah asmaraku bertambah lagi aku
mengukir sebuah cerita cinta lagi bersama seorang laki-laki yang bernama Wawan.
Dia bocah SMP, karena aku masih awam dalam hal cinta-cintaan jadi aku masih
plinplan dalam berpendirian dan akhirnya tanpa alasan yang jelas akupun pergi
meningglkannya. Namun seperti peribahasa, hilang satu tumbuh seribu, sosok yang
dulu pernah aku sukai, dambai dia adalah sang ketua kelas ketikaku duduk di
kelas II dan III. The Winner Candra Setiawan, ternyata selama ini diam-diam dia
suka kepadaku. Sungguh disayangkan ketika itu rasa sukaku kepadanya sudah
hilang, karena rasa suka itu sudah terlalu lama aku pendam. Semakin lama aku
pendam rasa itu, dan akhirnya hilang. Hilang karena suatu saat aku telah
menemukan sosok penggantinya. Dengan rayuan sahabat-sahabatku, mereka
menjodohkanku dengan Candra. Atas nama sahabat akhirnya aku menyulam sebuah
benang-benang cinta bersama Candra. Tanpa pikir yang panjang aku juga setuju
dengan sahabat-sahabatku. Ketika Aif mengetahui semua cerita itu, dia marah
besar. Berbicara empat mata di sebuah ruangan kelas, aku menjelaskan semuanya
secara mendetail. Aku pacaran dengan Candra bukan karena cinta tapi atas nama
sahabat. Aif kecewa dengan keputusanku ketika itu, dia tidak terima dengan
jalan cerita yang seperti itu. Maafkan aku.
Seiring berjalannya waktu, usiaku juga bertambah.
Kamis, 26 Mei 2005
“Selamat Ulang Tahun anakku.
Semoga kamu panjang umur, sehat selalu, semakin pintar, semakin sayang kepada
Ibu dan Ayah”. Mungkin seperi itulah doa seorang Ibu ketika anaknya berulang
tahun. Terimakasih Tuhan, karena engkau masih memberiku kesempatan untuk hidup
di duniamu yang indah ini. Aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu
dan Ayah. Hari ulang tahunku yang ke-12. Menuju puncak untuk mencapai
keberanian, buktikan jika aku itu adalah anak yang berani berbuat dan berani
bertanggung jawab. Berani dalam segala hal, terkecuali berani dalam berbuat
kesalahan. Selamat Ulang Tahun untuk diriku sendiri.
Di ulang tahunku yang ke-12, aku
diberikan kejutan oleh sahabat-sahabatku. Tadinya mereka mempunyai niat akan
mengguyurku dengan tepung terigu, telur, dan air. Namun rencana mereka gagal,
aku sudah mengetahui semua rencana nakal mereka. Walaupun rencana mereka sudah
aku gagalkan, tapi satu yang belum aku gagalkan. Rencana si ketua kelas
sekaligus pacarku. Ketikaku sedang terdiam dia menghampiriku dari belakang,
lalu menimpuk kepalaku dengan telur, PLOOOOOK. Ampun, sakitnya kepalaku tak
sebanding dengan sakitnya Aif ketika melihat adegan itu. Sosok yang penuh
dengan kejutan. Dia memberi ucapan selamat dengan menimpuk kepalaku dengan
telur. Aku sangat kesal dengan perbuatannya, akhirnya aku marah dengan
mengeluarkan air mata. Semua rencana digagalkan, karena aku terlanjur marah.
Akhirnya semua bahan-bahan adonan kue itu aku bawa ke rumah. Setibanya di rumah,
aku dan Ibu membuat kue. Keesokan harinya kue itu aku bagikan. Orang pertama
yang menicipi kue itu adalah Candra. Sahabat-sahabatku, mereka semua pada
rakus, dengan seketika kue itu langsung habis.
Ceritaku bersama sahabat, Geng
The Girls On Fivers terus berjaya. Cerita bersama sang ketua kelaspun terus
mengalir bagaikan air. Walaupun pada mulanya aku pacaran atas nama sahabat,
tapi seiring berjalnnya waktu rasa itu mulai tumbuh. Sungguh aneh, aku juga
nggak tahu, apa yang sebenarnya terjadi ? Misteri apakah ini, apakah ini yang
disebut teka teki dalam menjalin sebuah mahligai cinta. Terkadang teka teki itu
menyulitkanku untuk menembus jalan keluarnya.
Suatu saat, ada pertandingan
olahraga antar sekolah. Ketika itu aku dipercaya menjadi perwakilan dari sekolah
untuk mengikuti lomba olahraga dalam bidang atletik. Atletik, olahraga lari,
lempar dan lompat. Lari jarak jauh sekitar 120 meter. Di sebuah lapangan sepak
bola yang luas, aku bertanding. Aku berada di nomor urut ke-3, ketika itu pemandu
lomba mulai menyiapkan peluit. Aku bersiap-siap untuk melakukan perlombaan,
pemanasan terlebih dahulu. Sahabat-sahabat dibelakangku berteriak memberiku
dukungan. GO Novi, GO Novi, GO GO GO YAAANG. Dukungan mereka membuatku tertawa
cekikian ketika itu, hingga si pemandu lomba sempat menegurku. Permainanpun
akan segera dimulai, aku mengambil posisi start. Lalu pemandu memberikan
aba-aba, SIAP, BERSEDIA, AWAAAAS. . . . . . dan peluit dibunyikan PRIIIIITTT.
Dengan semangat bergelora dan keyakinan hati untuk memenangkan perlombaan ini,
aku berlari dengan sangat cepat. Sangat sangat cepat, hingga aku merasa
mengapung di lapangan. Aku seperti dikejar-kejar oleh seekor Serigala yang
kelaparan. Aku haus darah kemenangan. Hingga finish sudah terliat di depan mata,
dan akhirnya aku orang yang pertama sampai di finish. Hal yang tak
disangka-sangka, di tempat finish sudah menanti sosok laki-laki dan ternyata
dia adalah Candra. Dia sengaja menungguku di finish, lalu menyodorkanku sebuah
minuman botol sambil mengucapkan “Selamat, kamu menjadi Juara”. Itulah hal yang
paling aku ingat sampai sekarang. Dibalik sosoknya yang misterius, dia telah merencanakan
sebuah kejutan-kejutan yang tidak disangka. Kejutan itu membuatku selalu
tercengang dan kaget.
Waktu terus berlalu hingga Ujian Nasional (UN)
pun dimulai. Ujian selama 5 hari itu, akan menentukan cerita tentang pendidikanku
selanjutnya. Akhirnya aku LULUS dengan hasil memuaskan, peringkat ke 3 di
sekolah. Jabatan The Winner kini telah tergantikan oleh sahabatku, Iis Wartini
dialah The Winner yang baru. Sedangkan Teni, dia beralih posisi ke peringkat 2.
Seperti biasanya setiap 2 tahun
sekali, sekolahku selalu memerihkan perpisahan dengan menggelar sebuah upacara
adat. Orang yang menjadi The Winner, akan menjadi Raja dan Ratu seharian. Pada
saat itu perpisahan angkatanku digelar dengan sangat meriah. Ya, The Winner
kita yaitu Iis Wartini menjadi Ratu dan Candra menjadi Rajanya. Karena pada
saat itu Candralah laki-laki yang lebih unggul dari laki-laki yang lainnya. Dia
menempati peringkat ke-4. Pada saat itu hubunganku bersama Candra masih berjalan
dengan baik-baik saja.